Kamis, 28 Oktober 2010

Aremanita, Tunjukkan Aksimu!

Sepak bola merupakan olahraga paling populer di planet Bumi, sangat diminati oleh berbagai kalangan. Mudah menemukan anak-anak bermain sepak bola di sore hari, pertandingan tarkam pada momen peringatan 17 Agustus-an, atau even sepak bola yang diadakan oleh instansi tertentu. Selain itu banyak negara-negara yang menjadikan sepak bola sebagai acara tahunan, yang sering di sebut liga. Dan di tahun ini even World Cup di Afrika Selatan menjadi acara yang paling ditunggu-tunggu oleh penikmat dan pencinta sepak bola di seluruh belahan dunia.
Ayas, Tia, dan Sam Boim

Di Indonesia tak mau ketinggalan, sejak 1994 dimulai dengan Ligina dimana PSSI (sebagai organisasi sepak bola nasional) mendorong sepak bola Indonesia menjadi lebih profesional, kemudian dengan mengalami berbagai perubahan format pertandingan, hingga sekarang (tahun kedua) ISL telah sukses digelar, merupakan bukti semakin majunya sepak bola tanah air.

Hampir setiap daerah memiliki klub sepak bola kebanggaan yang berlaga pada level tertentu (sesuai dengan prestasi dan anggaran yang dimiliki). Menurut artikel Cak Faris, omong kosong apabila sebuah klub sepak bola mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Kita tentu mengangguk setuju dengan pernyataan tersebut. Arema Indonesia yang sukses merengguk kemenangan pada ISL musim 2009/2010 ini, salah satu faktornya tentu tidak lepas karena totalitas dukungan Aremania, suporter fanatiknya. Hal ini semakin dibuktikan bahwa Arema Indonesia yang notebene adalah klub non-APBD mampu bertengger pada singasana teratas level sepak bola tertinggi di tanah air, mampu mengatasi krisis anggaran yang sempat melanda salah satunya karena keikhlasan Aremania yang rela membayar mahal tiket pertandingan di Stadion Kanjuruhan (termahal di Indonesia).

Isu emansipasi wanita yang gencar dikampanyekan pada jaman globalisasi ini, juga berdampak pada sepak bola. Sepak bola tidak lagi menjadi monopoli laki-laki. Tidak sedikit kaum Hawa yang juga suka, bahkan fanatik terhadap sepak bola. Sekarang sudah menjadi hal lumrah bagi perempuan untuk turut berdiskusi dan pergi ke stadion untuk menonton pertandingan klub favoritnya secara langsung. Menurut Laporan Studi Lapangan yang dilakukan John Psilopatis, dengan semakin dewasanya suporter sepak bola (yang didominasi laki-laki), membuat semakin mudahnya menemukan suporter perempuan yang berani hadir di stadion.
Always Proud of Arema
Aremanita, The Jack Angle, Bonita, dan Srikandi adalah bukti pengakuan terhadap keberadaan suporter perempuan. Kehadiran Aremanita (julukan bagi suporter perempuan Aremania) menjadi sebuah warna tersendiri. Aremanita turut menghapuskan persepsi miring masyarakat yang konservatif, yaitu menganggap bahwa perempuan yang gemar sepak bola adalah perempuan yang ‘nakal’ dan sekadar ikut-ikutan. Stereotip negatif tersebut, seharusnya dibuang jauh-jauh. Mendukung Arema adalah hak siapa saja, tak terkecuali bagi perempuan sekalipun.

Selayaknya kemunculan suporter perempuan dalam sepak bola turut didukung oleh suporter laki-laki. Banyak kisah suporter perempuan yang mendapat tindakan tidak menyenangkan dan mengarah pada tindak pelecehan. Hal ini patut disesalkan, karena tindakan yang tidak terupuji tersebut turut menghambat proses terciptanya sepak bola yang kondusif, maju, dan dewasa.
Aremanita adalah bagian dari Aremania, yang mempunyai visi untuk mendukung Singo Edan. Sudah saatnya bagi Aremanita untuk menunjukkan aksinya yang lebih nyata, sebagai barometer suporter perempuan pada kancah sepak bola tanah air. Rencana memecahkan rekor Muri jumlah penonton perempuan terbanyak pada pertandingan derby Malang (Persema vs Arema Indonesia) tanggal 9 Maret 2010 lalu, sepatutnya dapat dilaksanakan suatu saat kelak, dengan persiapan yang matang oleh Panpel Pertandingan, serta kontribusi nyata dari Aremanita hal tersebut adalah realistis!

Alangkah baiknya apabila Aremanita-lah pihak yang mengingatkan Aremania apabila timbul indikasi untuk brutal dan kisruh, Aremanita-lah yang mampu membuat ‘adem’ suasana (dalam konteks positif) yang mulai memanas kala terjadi singgungan dengan suporter lain. Karena pada dasarnya jiwa perempuan lebih peka daripada laki-laki (kodratnya yang diciptakan sebagai ibu), sehingga lebih halus dan antipati terhadap segala bentuk anarkis.

Aremanita hadir di stadion tujuan utamanya adalah mendukung Singo Edan (walaupun tidak dipungkiri ada alasan untuk merefreshkan mata dengan melihat punggawa-punggawa Arema Indonesia yang nayamul cakep, namun julukan Aremanita tersebut sebaiknya tidak hanya disandang pada saat Arema Indonesia bertanding saja, lebih dari itu alangkah membanggakan apabila Aremanita juga turut mengangkat nama klub dan suporter dengan beragam kreativitas yang dimiliki. Contohnya dengan kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan… atau dengan sekadar menulis seperti ini.

Eksistensi Arema Parahyangan

Mendengar nama ibu kota Profinsi Jawa Barat tersebut, turut melintaskan berbagai hal di benak kita. Bandung dengan Gedung Sate-nya, jajaran distro di Jalan Trunojoyo, beragam jajanan dan wisata kuliner, tempat nongkrong anak muda di Jalan Dago, keindahan Tangkuban Parahu yang luar biasa, dan berbagai hal lain yang identik dengan kota kembang tersebut.


Arema Parahyangan
Di kota yang ditempuh 17 jam menggunakan Kereta Malabar inilah tempat mengadu nasib bagi sejumlah gnaro dan kera Ngalam. Sebagian mencari ilmu, sebagian yang lain mencari sesuap nasi. Sebuah pilihan sulit bagi kami untuk pergi meninggalkan kampung halaman dan kota kelahiran kami, Malang. Namun, desakan untuk menyambung hidup, mendapatkan pengalaman, dan penghidupan yang lebih baik lah yang membulatkan tekat kami untuk hijrah ke Tanah Sunda. Bandung, adalah tempat rejeki kami telah disiapkan oleh Yang Maha Kuasa. Kami mengejarnya, walaupun berat rasanya meninggalkan berjuta kenangan bersama keluarga, teman, kerabat, tetangga, dan segala hal di Malang. Namun itulah hidup, sebuah perjuangan.

Mujur bagi kami untuk menemukan orang-orang yang berasal dari Ngalam di Bandung, walaupun lokasi kami di Bandung tersebar di berbagai daerah dan kesibukan kami pun berbeda. Sebagai sesama perantauan, keakraban kami timbul begitu cepat, solidaritas pun tak perlu diragukan. Kami yang semula tidak saling mengenal di Ngalam, begitu cepat merasa yakin bahwa kami telah menemukan saudara, teman senasib sepenanggungan. Terlebih lagi disatukan oleh kecintaan terhadap klub kebanggaan kami, AREMA INDONESIA. Semangat Singo Edan pun turut kami bawa serta dalam perantauan.

Berikut cerita kebersamaan kami tanggal 20 Juni 2010…
Sebelumnya telah disebarkan undangan melalui (lagi-lagi) Facebook oleh Sam Kendar pada Grup AREMANIA BANDUNG mengenai rencana futsal. Hari Minggu, pukul 13.45 ayas sampai di Skipper Futsal Kiaracondong dengan memakai soak AREMANIA PARAHYANGAN. Satu per satu nawak-nawak pun datang, kebanyakan memakai atribut AREMA juga. Rencana awal nawak-nawak tersebut futsal sejak pukul 14.00 – 16.00, namun dengan sedikit kendala teknis di lapangan (bertepatan dengan final kompetisi futsal yang diselanggarakan produsen oli terkenal), akhirnya nawak-nawak baru bisa futsal sekitar pukul 14.30.

Beberapa wajah baru hadir di hari itu, kebetulan mereka mengetahui komunitas kami dari Facebook dan artikel kiriman ayas yang dimuat oleh redaksi ongisnade.net. Sama seperti ayas dahulu, mereka sebelumnya juga sibuk mencari tahu keberadaan Aremania di Bandung, karena kecanggihan teknologi lah silaturahmi dapat tersambung antara orang-orang Ngalam di Bandung. Terdapat orang yang bukan kera Ngalam diantara komunitas kami, salah satunya Aditya Rahman yang lahir di Samarinda, besar di Bontang, dan sekarang menimba ilmu di Bandung. Minatnya menjadi bagian dari Aremania ditularkan oleh sang Ayah yang asli Malang. Lain lagi dengan Amin dan Pinot (begitu mereka memperkenalkan diri), mereka adalah orang Klaten yang ngefans dengan AREMA INDONESIA, secara otomatis mereka ingin pula menjadi bagian dari Aremania.

Terhitung lebih dari 25 nawak-nawak yang hadir di sore itu. Secara bergantian mereka menggunakan lapangan futsal yang disewa berdasarkan iuran bersama. Sembari menunggu giliran, beberapa diantara mereka saling ngobrol ‘ngalor-ngidul’, menanyakan pengalaman hidup di Malang, kesibukan dan domisili di Bandung, lama di Bandung, tentang siapa yang akan mensposori AREMA INDONESIA musim ini, pada intinya topik obrolan berkutat tentang Malang, AREMA INDONESIA, dan eksistensi di Bandung. Lagi-lagi ayas menjadi Aremanita satu-satunya sore itu!

Pukul 16.30 acara futsal selesai. Ayas, Sam Dhedhet, Sam Kendar, dan Sam Aris menuju rumah Om Heri di belakang Pasar Caringin. Perlu nawak-nawak ketahui bahwa banyak gnaro Ngalam yang berdagang di Pasar Induk Caringin, mereka secara tidak langsung membangun komunitas Aremania disitu. Sebelumnya juga telah disebar undangan (kali ini lewat sms) mengenai pertemuan Arema Parahyangan jam 18.00 di daerah Cibolerang Bandung. Berhubung kami belum itreng dimana lokasinya, akhirnya kami sepakat berkumpul terlebih dahulu di rumah Om Heri (yang biasanya digunakan sebagai base camp), kemudian bersama-sama menuju lokasi.

Sekitar 5 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor dari rumah Om Heri, kami datang ke sebuah rumah di daerah Cibolerang. Acara yang ternyata dimulai pukul 20.00 (molor 2 jam) itu dihadiri gnaro Ngalam dengan beragam profesi, sebagai wujud keseriusan membentuk kepengurusan Arema Parahyangan. Menurut beberapa sumber yang ayas baca, sebenarnya Aremania tidaklah teroganisir, namun mempunyai seseorang yang ‘dituakan’ untuk menjadi koordinator korwil tersebut. Namun, malam itu kami sepakat membentuk kepengurusan (yang teroganisir) untuk mempermudah tercapainya tujuan bersama.
Sam Victor Arema Parahyangan di GBK

Selain sebagai wadah silaturahmi gnaro-gnaro Ngalam di Bandung dan sekitarnya, komunitas ini diharapkan dapat bergerak ke bidang sosial dan peka terhadap lingkungan sekitar, karena kami hidup dan tinggal di Bandung, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Usaha tersebut untuk menepis anggapan miring mengenai Aremania itu anarkis (dampak kemelut antar supporter). Selain itu, kami pun sepakat memberi nama AREMA PARAHYANGAN (bukan AREMANIA PARAHYANGAN), alasannya adalah pemilihan kata AREMA yang cenderung global dibandingkan AREMANIA yang identik dengan supporter bola. Bukannya kami ingin meninggalkan kesan supporter yang selama ini kami banggakan, namun agar kami lebih leluasa untuk berkecimpung di berbagai bidang (tidak hanya supporter dan sepak bola). Dan ‘Parahyangan’, menggambarkan cakupan komunitas kami diharapkan tidak hanya kawasan Bandung saja, melainkan Jawa Barat secara keseluruhan.

Terdapat berbagai masukan demi eksistensi AREMA PARAHYANGAN, salah satunya adalah mendaftarkan organisasi kami ke pihak notaris, agar sah di mata hukum, dan tidak dianggap ‘liar’. Betapa seriusnya kami membangun citra baik Aremania di Jawa Barat. Pemilihan pengurus pun berlangsung dengan musyawarah kekeluargaan. Pengurus tidak hanya didominasi oleh satu generasi saja, golongan tua dan muda membaur menjadi satu, terbagi dalam tugas-tugas yang akan diemban kedepannya. Namun sayang, ayas tidak sampai selesai mengikuti acara tersebut, ayas harus ngalup ke Kota Cimahi (perjalanan 30 menit) karena sudah terlalu larut, untung ada Sam Dhedhet yang sungguh baik hati, mau memberi tumpangan sampai depan kost.

Begitulah cerita kami hari itu, sebuah usaha untuk tetap menjunjung tinggi Singo Edan di daerah Maung Bandung. Sebuah angin segar telah berhembus. Ada optimisme dan semangat bahwa kami akan eksis. Semoga benar-benar menjadi kenyataan berbagai harapan kami tersebut. Semata-mata dengan niat keikhlasan membangun silaturahmi yang lebih solid dan memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi lingkungan sekitar.

Kami tidak berada di Ngalam, namun embel-embel gnaro Ngalam akan terus kami emban dimanapun berada. Hal yang sama mungkin juga dirasakan oleh nawak-nawak Aremania (gnaro dan kera Ngalam) yang ada di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua, di belahan bumi manapun. Tunjukkanlah bahwa ‘Aremania tidak kemana-mana, tapi dimana-mana’ adalah benar adanya! Sebarkan virus perdamaian dan semangat persaudaraan. Tidak hanya sebatas Aremania saja, melainkan seluruh supporter Indonesia. Rangkullah mereka, walaupun tim yang mereka dukung bukanlah AREMA INDONESIA. Buktikan, bahwa kita adalah supporter dewasa dan pioneer supporter di Indonesia, terutama dalam hal positif.

Selalu ada rindu untuk Ngalam. Dan keinginan, suatu saat bisa ngalup ke Ngalam. Ada banyak hal yang patut dibanggakan di Ngalam. Ngalam, dengan Stadion Kanjuruhan yang berdiri kokoh sebagi saksi ketangguhan AREMA INDONESIA, jajaran toko-toko merchandise AREMANIA yang mudah ditemui, oskab Ngalam yang terkenal kane lop, café ongisnade yang semakin ciamik sebagai tempat nongkrong Aremania, suasana wisata Batu yang tiada tara, dan kehebatan supporter dan gnaro Ngalam yang luar biasa dalam memberi dukungan terhadap Singo Edan. Tidak akan pernah ditemui di kota lain, termasuk Bandung.

Penuh cinta untuk Aremaniania dan suporter Indonesia…

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

Suporter Sejati yang Tersesat, Ayo Pulang...

Ayas memang belum pernah terlibat cinta seperti Rangga dan Desi dalam kisah Romeo-Juliet karya Andibachtiar Yusuf yang mengangakat cinta antar suporter yang saling berseberangan. Namun ayas bisa membayangkan bagaimana penderitaan mereka ketika cinta, yang merupakan karunia dari Tuhan, terhalangi oleh rasa permusuhan. Kita dapat belajar dari film yang dicekal penayangannya di Bandung tersebut, bahwa betapapun kita sangat setia terhadap sesuatu yang kita yakini, namun ketika sesuatu tersebut mulai tidak masuk akal, hasilnya bukanlah kebahagiaan, justru timbul kerugian yang seharusnya bisa dihindarkan. Tewasnya Rangga, tentu menjadi sebuah luka yang dalam bagi Desi…
Arema Parahyangan di Sektor 21 Stadion GBK

“Itu ‘kan hanya cerita film!”. Ya, memang benar tapi tentunya si pembuat film terinspirasi dari peristiwa yang hadir di sekitar kita. Lagi-lagi topik kemelut antar suporter pun mengusik kedamaian dan ketentraman hati ayas. Sehingga ayas ingin berbagi pemikiran dengan nawak-nawak.

Sejak bergulirnya Liga Sepakbola Indonesia secara profesional sekitar tahun 1980-an, dukungan suporter terhadap klub-klub daerahnya pun semakin meningkat. Dengan julukan masing-masing, suporter mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan klub yang didukungnya, membuat suporter pun semakin fanatik. Bersamaan dengan hadirnya kelompok pendukung turut memunculkan konflik antar suporter tersebut.
Tentu tidak sedikit peristiwa kekerasan selama berlangsungnya pesta sepakbola paling bergengsi di Indonesia ini. Upaya berbagai pihak untuk memecahkan persoalan tersebut dapat diketegorikan dalam jangka pendek saja, bukan pemecahan masalah jangka panjang. Belum adanya riset serius di Indonesia mengenai hal ini pun turut menjadi alasan sulitnya mencari pemecahan masalah ini. Mungkin penyebabnya adalah urusan bola ini kurang mendapat perhatian dari orang-orang ‘besar’ yang menganggap bahwa hal ini tidak lebih penting dari percaturan politik di tanah air.

Pada sebuah literatur yang berjudul “Analisis Perilaku Kekerasan Penonton Sepakbola”, terdapat indikasi bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka tingkat keterlibatan dalam tindak kekerasan di stadion sepakbola pun semakin meninggi. Selain itu semakin tua usia seseorang, maka mempunyai kecenderungan untuk tidak melibatkan diri dalam tindak keributan. Strata ekonomi pun turut menyumbangkan faktor keterlibatan dalam kericuhan.

Motif atau alasan penonton melakukan tindakan kekerasan antara lain: melindungi teman atau tim kesayangannya, tindakan balas dendam, mengintimidasi lawan, kecewa terhadap kepemimpinan wasit, perilaku pemain lawan, harga diri, dan memperoleh status. Penyebabnya antara lain konsumsi alkohol atau jenis narkoba yang berlebihan, harapan yang tinggi akan kemenangan atas tim saingan, tindakan permusuhan yang berlangsung lama, perilaku pemain, wasit, dan ofisial, tingkat pendidikan, skor pertandingan, kehadiran pihak keamanan, pemberitaan media massa yang kadang menjadi inspirasi untuk berbuat anarkis.

Tentu setiap pribadi merasa bahwa klub yang didukung dan komunitas suporternya adalah yang terbaik. Tak peduli seberapa besar prestasi yang ditorehkan. Hal ini didasarkan atas semangat kedaerahan yang masih begitu kental dalam kultur budaya masyarakat Indonesia. Sesuatu yang wajar. Namun, menjadi tidak logis apabila semangat tersebut menjadi alasan untuk bermusuhan, apalagi dengan suporter lain yang sebenarnya masih satu bangsa.

Tak terhitung berapa kali gesekan antar suporter terjadi. Dari sekadar nyanyian rasis, segala bentuk cacian terhadap suporter lain, sampai kekerasan fisik yang tidak selayaknya terjadi. Yang lebih parah gesekan antar suporter terbawa sampai di luar stadion, bahkan ketika tidak ada pertandingan sekali pun. Hal ini telah menjadi dendam pribadi alih-alih sebuah dukungan total dan kesetiaan terhadap klub.
Arema Parahyangan

Sepak bola damai bukan berarti sepak bola banci kok! Yang banci justru ketika kita mudah tersulut emosi oleh provokator-provokator tak bermoral, yang akan tertawa terbahak melihat kita masuk dalam perangkap permainan mereka, menjadi brutal. Korban yang telah meninggal memang tidak dapat dihidupkan kembali, luka yang ditorehkan akan tetap meninggalkan bekas, memori tentu tidak dapat dihapus begitu saja. Tapi akankah kita bahagia, kalau generasi berikutnya pun seperti kita?

Mana implementasi pelajaran PPKn sewaktu SD dulu? Kita punya semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, mana buktinya? Mana nurani kita yang sebenarnya tidak dapat menerima segala bentuk kekerasan terjadi?
Kalaupun faktor sejarah membuat kita masih menyimpan dendam kesumat. Lantas bagaimana dengan Belanda dan Jepang? Tentu kita tidak lupa bahwa tanah air kita pernah dijajah kedua negara tersebut, tapi ayas yakin banyak diantara kita yang mendukung Negara Tulip dan Negara Matahari Terbit itu pada even World Cup 2010 di Afrika Selatan. Artinya, toh waktu telah menyembuhkan luka bangsa ini. Lalu, perlu waktu berapa lamakah untuk merasakan perdamaian antara suporter di Indonesia yang saling bertikai? Seabadkah? Dan ketika perdamaian itu terwujud, tentu kita sudah berbaur menjadi tanah dan dikorek-korek cacing!

Apakah kita harus menjadi tua terlebih dahulu, baru bisa berpikir bijak? Dan kemudian menyesal melihat anak cucu kita mengikuti tabiat kita sekarang, anarkis dan brutal! Banggakah kita bila disamakan dengan hooligan Inggris yang sering menimbulkan kekacauan dalam pertandingan sepak bola internasional, dimana menyebabkan kematian penonton Italia (The Times, 30 Mei 1985; dalam Haley dan Johston, 1995:1). Sebuah tindakan kaum yang primitif dan belum mengenal peradaban!

Atau haruskah ayas terlibat ‘perang fisik’ terlebih dengan suporter lain agar merasa begitu satu dengan nawak-nawak yang menganggap bahwa perseteruan adalah hal yang biasa? Sungguh mengenaskan!
Fakta sejarah memang bukan untuk dilupakan, sepatutnya dijadikan sebagai pelajaran berharga. Bukan saatnya pula mencari kambing hitam, karena semua pihak akan merasa bahwa posisinya adalah yang paling benar. Padahal manusia bukanlah malaikat yang tanpa salah dan khilaf. Adu argumentasi tak jadi soal, tapi akan mubadzir kalau tidak ada tindakan nyata! Tentu semua suporter ingin menjadi yang terbaik, mari mulai dari diri sendiri, saat ini…

Secara pribadi, ayas memang baru satu kali nonton di Stadion Kanjuruhan (launching Tim Arema Indonesia ISL 2009/2010), satu kali nonton di Gajayana (derby Malang, Persema vs AREMA INDONESIA), dan satu kali nonton laga tandang (tour Batavia). Koleksi atribut ayas pun hanya 2 soak, 1 kemeja, 1 jaket, 1 syal, 1 Bendera, 4 pin, 1 Gantungan Boneka Singa mini, dan 2 stiker. Mungkin tidak seberapa dibandingkan nawak-nawak yang sudah bertahun-tahun menjadi fans fanatik AREMA. Dan ayas pun baru kemarin bergabung dan aktif dalam komunitas Arema Parahyangan. Walaupun memang sebenarnya sejak kecil ayas suka dengan AREMA dan Aremania. Tapi semua itu tidak membuat ayas minder atau rendah diri untuk mengajak nawak-nawak semua untuk melangkah menjadi suporter yang cinta damai…

Ayo, jadilah suporter yang dewasa! Atau haruskah kisah Rangga – Desi terjadi pada diri kita? Semoga saja tidak… Untuk suporter sejati yang jiwanya masih disesatkan ego permusuhan dan loyalitas yang menjerumuskan, mari pulang menuju perdamaian…

Setitik ungkapan hati ini, semoga menjadi embun penyegar di tengah kering kerontangnya padang perdamaian…

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)
-dari pelbagai sumber-

Pembuktian One Soul One Blue

Selasa, 29 Juni 2010 telah dilakukan drawing 8 besar Piala Indonesia 2010 oleh PT Liga Indonesia, di kantornya, Kuningan, Jakarta. Acara yang dihadiri perwakilan klub yang akan bertanding di babak 8 besar tersebut memakai format Liga Champions, artinya juara masing-masing grup pada babak 16 besar tidak akan bertemu lagi di babak 8 besar. Begitu juga tim-tim yang sudah bertemu di babak penyisihan.
Aremania
Arema Parahyangan
Pada hasil drawing tersebut Arema Indonesia bertemu dengan Persib Bandung, dimana pertandingan tersebut dapat dipastikan merupakan salah satu laga super big match. Menurut jadwal, Arema Indonesia akan mendapatkan kesempatan pertama menjamu Persib Bandung pada putaran pertama pada tanggal 18 Juli 2010. Sedangkan putaran kedua yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 22 Juli 2010 giliran Maung Bandung akan melakukan laga kandang menjamu Singo Edan.

Hasil drawing ini sangat menarik, karena pada momen pertandingan yang mempertemukan dua kans suporter besar dan dianggap sangat fanatik tersebut terdapat suatu pembuktian bagaimanakah hubungan antara Aremania dan Bobotoh (Viking) yang akhir-akhir ini kurang harmonis.
Mengutip pada tulisan yang marak muncul di internet yang menyatakan bahwa sebenarnya Aremania dan Viking tidak memiliki sejarah permusuhan, Aremania dan Viking adalah korban propaganda. Lalu mengapa Aremani turut memusuhi Viking? Maukah kita dianggap hanya sekadar ikut-ikutan, dan tidak punya pendirian. Sudah cukup permasalahan terjadi antara Aremania-Bonek dan Viking-The Jak. Walaupun masing-masing kedua kubu telah mengumumkan persaudaraan yang erat, namun apakah dengan seketika turut memusuhi yang lain, walaupun sebenarnya tidak mempunyai permasalahan apa-apa. Sadarlah bahwa taktik adu domba ada dibalik semua kemelut ini. Pengalaman sudah banyak, namun apakah kita mau belajar dan menjadi suporter dewasa, pada diri sendiri lah kita bertanya.

Dari beberapa discussion board di internet yang mengangkat topik kemelut Aremania – Viking, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak jelas apa yang menyebabkan hubungan kedua suporter menjadi sedikit memanas akhir-akhir ini. Justru cukup banyak komentar kedua suporter yang terkesan baik-baik saja dan malah begitu bersahabat, dan saling menghargai, walaupun masing-masing memiliki ‘saudara’ yang notabene menjadi musuh yang lain. Sekali lagi mungkin kita patut membenarkan salah satu tulisan di internet yaitu “Aremania – Viking Korban Sebuah Propaganda”.

Pada tour Batavia sekitar 28 Mei – 1 Juni tahun ini, Aremania tidak dapat serta merta menuduh bahwa Viking yang melakukan aksi pelemparan batu pada kendaraan Aremania. Bisa saja itu hanyalah oknum yang menginginkan Aremania – Viking menjadi berseteru. Dan pada saat Viking tandang ke Malang, ada pihak yang merasa bahwa Aremania tidak menyambut baik kedatangan Viking tersebut, bisa saja Aremania itu juga bukan Aremania sejati, hanya (lagi-lagi) oknum yang tidak bertanggung jawab.

Menilik kedua klub sepakbola tersebut, terdapat banyak kesamaan. Kedua kota sama-sama terletak di dataran tinggi yang beriklim sejuk, semoga berdampak pada karakteristik suporternya yang tidak mudah tersulut provokasi menyesatkan. Keduanya sama-sama punya warna identitas, yaitu biru. Kedua komunitas suporter pun kebanyakan berasal dari kalangan bawah (grass root), sama-sama menjadi pemain kedua belas ketika tim kesayangannya sedang berlaga. Peran kedua suporter telah berkembang tak hanya sebagai objek pelengkap namun telah menjadi bagian dari prestasi dan keberhasilan masing-masing klub. Selain itu, kedua klub sama-sama mengusung sepakbola industri, penjualan merchandise, pembuatan album pun masing-masing mereka lakoni untuk menambah pendapatan klub. Dan tentunya loyalitas suporter dalam mendukung klubnya di kandang maupun laga tandang sekalipun tak perlu diragukan.

Kalau Aremania punya dirigen yaitu Sam Yuli dan Sam Kepet, maka Viking pun punya panglima yang sama dihormatinya oleh suporter yaitu Ayi Beutik dan Heru Joko. Kalau Aremania bergerak melalui korwil, maka Viking pun mengaktualisasikan diri dengan pembentukan distrik. Kalau Aremania berkata “Arema sampe’ ketam!”, maka Viking pun berkata “Persib nepi ka maot”, yang maknanya adalah loyalitas terhadap klub sampai akhir hayat.
Arema Parahyangan Dukung Arema di Senayan

Memang anggota kedua suporter berasal dari pribadi-pribadi yang mempunyai pandangan dan pola pikir yang berbeda-beda, ada yang mudah terprovokasi oleh pihak lain, ada pula yang dapat berpikir secara bijak. Semoga kita adalah yang kedua tersebut. Tidak usah kita ikut-ikutan suporter lain yang menggaungkan permusuhan. Perdamaian harus terus diusahakan, tak pernah ada kata bosan maupun menyerah!

Hendaknya Viking/Bobotoh menggunakan atribut mereka sendiri, bukan menggunakan atribut suporter klub lain, untuk menghindari ketidakjelasan identitas. Kita mengetahui bahwa dengan adanya persahabatan antara Viking dan Bonek, dapat dimungkinkan Viking/Bobotoh menggunakan atribut Bonek, yang mungkin saja dapat memancing emosi sebagian Aremania yang belum mampu berpikir secara dewasa. Kedua belah pihak pun harus saling menjaga perasaan suporter lain.

Banyak suporter merasa bahwa kesetiaannya pada klub yang didukungnya adalah dengan cara membela mati-matian, dan merasa tidak terima bahwa klub atau suporternya dihina dengan kata-kata yang tidak sopan, bahkan menjurus ke arah pelecehan. Suporter pun akan melakukan aksi balasan, dengan bentuk yang sama, atau malah lebih keras. Nah, kalau sudah begini kapan akan berdamai? Harus menunggu kiamatkah?
Mengapa sanggahan ejekan tersebut tidak kita lakukan dengan cara-cara yang lebih elegan, tak hanya sekadar bermanis kata, namun sebuah bukti nyata. Kita patut belajar kepada Sam Harie Pandiono, tentu nawak-nawak mengikuti beritanya, bahwa seseorang yang benar-benar fanatik terhadap Arema Indonesia ini rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk hal-hal yang mungkin hanya dapat dipahami oleh suporter sepakbola lain yang sama fanatiknya, yaitu memesan bendera Arema Indonesia dengan ukuran super besar dengan berat lebih dari 10 kg, untuk dibentangkan dalam waktu yang cukup singkat di Afrika Selatan pada gelaran Piala Dunia 2010. Dan membawa bendera Arema Indonesia kemana-mana sebagai identitas agar khalayak internasional tahu bahwa Arema Indonesia itu ada. Betapa membanggakannya hal tersebut bagi Aremania di tanah air. Belum tentu ada suporter Indonesia seperti beliau. Serta rencana-rencananya kedepan untuk mengaktifkan Arema korwil Eropa yang dianggap ‘melempem’.

Melihat eksistensi beliau, tidakkah nawak-nawak malu kalau masih saja mengurusi kemelut dengan suporter lain yang tak kunjung usai. Apakah tidak ada cara lain untuk eksis selain dengan anarkis dan rasis?
Tak sepatutnya nyanyian rasis diperdengarkan lagi, ataupun ejekan kepada suporter lain ketika mengenakan atribut suporternya di kota kita sendiri, selain itu tidak dewasa apabila status Facebook kita menyatakan bahwa suporter lain adalah badut, ataupun perang argumen di dunia maya. Suporter yang hanya ikut-ikutan dan tak punya pendirian tersebut mungkin hanya berani kalau bersama-sama, alias ‘keroyokan’, coba ditantang satu lawan satu, belum tentu mereka mau. Ya, sebuah solidaritas yang kurang benar jalannya.
Ada salah satu komentar dalam Grup ‘Aremania dan Viking Satu Warna’ di Facebook yang berbunyi “kayaknya kita butuh dijajah Belanda dan Jepang, biar kompak satu Indonesia”, membaca komentar tersebut kita seharusnya merasa miris, bahwa persatuan yang telah diusahakan secara susah payah hingga mengorbankan nyawa yang tidak sedikit itu rupanya sudah tidak punya arti lagi bagi suporter sepakbola Indonesia. Padahal kita yakin benar bahwa kita adalah seorang WNI. Sebagian besar mereka justru lebih senang membalas tindakan suporter lain yang tidak dewasa dengan tindakan yang sama tidak dewasanya pula.

Padahal sadarkah kita dimana kita berada? Kita masih mengibarkan dan menghormati bendera yang sama, Merah Putih. Kita masih memiliki ideologi yang sama, Pancasila. Kita masih di tanah air yang sama, Indonesia. Sadarlah itu wahai suporter Indonesia! Perbedaan itu memang indah, namun akan jauh lebih indah bila dilengkapi dengan perdamaian. Loyalitas terhadap klub yang membabi buta tidak ada manfaatnya, hanya akan menambah citra buruk sepakbola tanah air saja. Bukan saatnya kita menonton kericuhan antar suporter, tapi sepakbola yang ‘fair play’ dan berkualitaslah yang menjadi tujuan kita datang ke stadion.
Aremania dan Bobotoh

Semoga pertengahan Juli nanti, pemain dan ofisial klub Persib Bandung, beserta Viking/Bobotoh dapat merasakan sambutan hangat Aremania dan publik Malang Raya akan kedatangan mereka. Aremania harus memulainya terlebih dahulu, karena apa yang akan terjadi pada tanggal 18 Juli 2010 tersebut menjadi acuan pada pertandingan selanjutnya yang berlangsung empat hari kemudian di Bandung. Sambutan baik dari Viking/Bobotoh Bandung pun tentu sangat diharapkan pada laga selanjutnya. Mengingat pada dasarnya Aremania-Viking tidak punya masalah apa-apa. Sungguh sesuatu yang sangat kita harapkan.

Arema Parahyangan menghimbau kepada publik bola Malang Raya untuk menyambut baik kedatangan rekan-rekan Viking. Sesuatu hal yang sangat menyenangkan apabila adegan penyambutan Viking oleh Aremania pada Film Romeo Juliet dapat berlangsung secara nyata menjelang 18 Juli 2010. Kalau sambutan Aremania terhadap Viking baik, maka tak perlu khawatir bagi Aremania untuk tour tandang ke Bandung. Sekali lagi, laga tersebut merupakan sebuah pembuktian kedua suporter biru, apakah masih pantas memiliki jargon “One Soul, One Blue”.

Arema Parahyangan, yang memiliki ikatan emosi dengan kedua kota, yaitu Malang dan Bandung merasa bahwa pertandingan Arema Indonesia vs Persib Bandung adalah salah satu pertandingan terpenting tahun ini. Semoga kami dapat mengadakan acara nonton bareng, karena tidak semua Aremania di Bandung dapat mendukung langsung di Malang. Dan alangkah mengandung ‘mbois’ apabila pada acara nobar tersebut, kami dapat mengundang perwakilan Viking untuk duduk bersama, menikmati pertandingan melalui layar kaca, dengan sedikit cemilan ala kadarnya, sumbangan buah dari nawak-nawak Caringin, sambil bersorak sorai mendukung tim kesayangan masing-masing, dan sedikit umpatan khas suporter kala jagoan masing-masing gagal mempertahankan bola. Alangkah mesranya seandainya dapat terjadi…
Buktikan bahwa Malang adalah kota yang mempunyai suporter dewasa dan patut dijadikan teladan (bukan badut)!
Satukan jiwa satukan rasa. Damai di hati kita bersaudara. Damai, damai saudaraku. Jabat erat penuh kasih sayang. Untuk apa terus bertengkar. Pertemuan ini adalah kabar. (Kabar Damai by D’Kross ft Anto Baret)
Jabat erat, kabeh dulur!
Salam Satu Jiwa dari Arema Parahyangan

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id Aremanita tak pernah berhenti menunjukkan aksi, masih punya nyali sekalipun telah mendapat intimidasi!)

Aremania Suporter Kreatif

Kreatif dan atraktif. Itulah kata yang patut menggambarkan bagaimana Aremania beraksi di tribun stadion ketika mendukung tim Arema Indonesia. Tak perlu diragukan bagaimana dengan berbagai gerak dan lirik lagu yang dinyanyikan mampu membuat satu stadion bergemuruh, sebagai wujud loyalitas tanpa batas terhadap Singo Edan.
Arema Parahyangan Tour Senayan 2010

Sarana jejaring sosial pun tak luput dari bentuk kreatif tersebut, menyampaikan unek-unek dan pemikiran mereka tentang Aremania dan suporter-suporter lainnya. Sebagian di antara Aremania menunjukkan bahwa Aremania adalah suporter teladan, ironisnya di satu pihak Aremania yang lain mengisyaratkan bahwa dirinya tidak pantas menyandang julukan tersebut, melempar segala bentuk hujatan dan caci maki yang kurang sopan kepada suporter lain.

Mari kita bayangkan, seandainya kita dihujat seperti itu bagaimana perasaan kita? Dan ketika ada Aremania yang lain mengingatkan, malah mendapatkan komentar yang kurang enak juga. Ayas mengerti bahwa itu dilakukan untuk membela harga diri karena merasa terinjak-injak oleh hujatan suporter lain.
Tapi sebenarnya tidakkah kita berpikir secara dewasa, bahwa ketika kita membalas tindakan mereka dengan cara yang sama, berarti pola pikir kita sama seperti mereka, belum dewasa. Ayas juga mengerti ada sebuah kejengkelan apabila kita dihina, namun tidak ada salahnya meredam hinaan pihak lain dengan cara yang lebih terhormat. Mana niatan kita untuk menjadi teladan?
Logo Lawas Arema Parahyangan
 Bentuk balasan yang kreatif dan elegan adalah dengan suatu pembuktian yang lebih nyata dan berbeda. Perang argumen, bersilat lidah, saling menghujat, menuding yang lain salah, dan kita lah yang paling benar, semua suporter pun bisa kalau seperti itu. Hasilnya adalah makin memperkeruh suasana, memperuncing kemelut, lama-kelamaan akan menjadi bom waktu, sehingga bila sedikit saja terjadi gesekan antar suporter maka akan menimbulkan chaos yang cukup mengerikan. Ingat nawak-nawak, kita hanya memiliki satu nyawa, jadi jangan sok jagoan dan bisa berkoar-koar lewat dunia maya. Sekali lagi butuh bukti nyata bahwa kita memang pantas menjadi suporter teladan. Sudah bukan jamannya menjadi suporter ‘ndeso’ yang hanya bermulut besar, tapi marilah kita bersama menjadi suporter modern yang lebih menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kreativitas.

Eksistensi Aremania dalam mendukung Arema Indonesia tidak hanya dalam pertandingan sepakbola saja. Alangkah kreatif apabila wujud dukungan tersebut direalisasikan dalam karya-karya yang keren. Contohnya, dibuat sebuah kompetisi kreativitas antar suporter, misalnya diadakan sebuah perlombaan yang diikuti oleh perwakilan korwil-korwil. Satu korwil mengirimkan sejumlah suporter untuk adu kreatif dalam beryel-yel. Dengan begitu banyaknya jumlah korwil, maka dibuat sistem wilayah. Unggulan tiap wilayah pada akhirnya akan bertemu di babak final. Juaranya berhak mendapat apresiasi yaitu karya mereka dipertunjukkan ketika Aremania mendukung Arema Indonesia saat bertanding atau ditampilkan pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Arema Indonesia. Tentunya persyaratan utamanya adalah karya yang diciptakan tidak mengandung rasisme. Selain menggali potensi kreatif dari nawak-nawak di daerah, acara ini juga positif sebagai ajang silaturahmi antar korwil. Selain itu, bagi movie maker dapat dibuat ajang festival film indie atau film dokumenter yang mengangkat cerita Aremania. Banyak inspirasi yang dapat ditemui di sekitar kita. Aremania pun akan sibuk termotivasi dengan hal-hal yang lebih bernilai kreatif.

Bagi yang mempunyai ketertarikan di bidang musik, dapat diadakan semacam ajang pencarian bakat grup band. Setiap peserta diwajibkan menampilkan karya ciptaan mereka sendiri, tentunya lagu-lagu tersebut bertemakan Arema Indonesia, Aremania, Singo Edan, Malang, dan sepakbola Indonesia. Bagi peserta terbaik, berhak mendapat kesempatan membuat album kompilasi yang nantinya akan dipasarkan.

Untuk Aremania Licek dapat diadakan sebuah kegiatan sesuai dengan usia mereka, misalnya memecahkan rekor Muri menggambar dan mewarnai maskot Singo Edan. Untuk usia Sekolah Menengah, Lomba Karya Tulis adalah ajang yang tepat digelar, dengan mengangkat tema Sepakbola Indonesia, hal-hal semacam itu dapat menumbuhkan kecintaan terhadap klub sepakbola lokal dan pemahaman seperti apakah sepakbola yang damai sedini mungkin.

Mengingat jumlah Aremania yang sangat banyak dan sejalan dengan Sepakbola Industri yang akhir-akhir ini marak didengungkan, maka wajar apabila industri kreatif menjadi salah satu bentuk ekspresi Aremania. Salah satu contohnya adalah banyaknya desain kaos, syal, dan atribut Aremania. Bahkan bentuk desain khas Singo Edan pun dapat ditemui pada produk sprei, bad cover, tas, dan jam dinding. Tentunya dengan tidak lupa memberi handtag PT Arema Indonesia, sebagai royalti. Siapa tahu produk-produk tersebut dapat menjadi oleh-oleh atau cinderamata bagi wisatawan luar daerah ketika berkunjung ke Malang. Arema Indonesia pun semakin dikenal oleh orang luar Malang, sekalipun bukan pencinta sepakbola.

Selain itu gnaro-gnaro Ngalam di luar daerah yang dengan bangganya menjadikan ‘Arema’ sebagai merk usaha mereka, contohnya bakso, pun turut membumikan nama klub yang memperingati hari lahirnya setiap tanggal 11 Agustus itu. Dalam bidang konveksi, semoga ada pengusaha batik yang punya daya imajinasi untuk menjadikan logo Arema sebagai salah satu motif batik. Ayas yakin Aremania akan senang hati memakainya, sebagai kebanggaan Aremania dan Warga Negara Indonesia.

Bagi Aremania yang tinggal pada daerah-daerah perbatasan antara Ngalam dan kabupaten / kota lain, dapat secara bergotong royong membuat semacam monumen patung singa dengan ucapan “Selamat Datang di Kandang Singa” atau “Selamat Datang di Bumi Arema”. Monumen semacam itu akan menimbulkan kesan tersendiri bagi pendatang dan menumbuhkan semangat berkobar-kobar bagi Aremania.
Arema Parahyangan di Kawasan Senayan

Masih banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud cinta Arema Indonesia, selain membeli tiket ketika menonton di Stadion Kanjuruhan dan memberi produk berhandtag PT Arema Indonesia tentunya. Peran korwil-korwil selayaknya tidak sekadar hanya dianggap sebagai tempat mendapat jatah tiket saja, melainkan sudah saatnya peran korwil lebih ditingkatkan sebagai wadah untuk kreativitas anggotanya. Bahkan alangkah terpuji apabila korwil tersebut dapat mengepakkan sayap dalam bidang sosial kemasyarakatan, yang akan memberi manfaat lebih banyak bagi Gnaro Ngalam yang lain. Sehingga energi nawak-nawak tidak habis hanya untuk sekadar perang hujatan di dunia maya, yang ujung-ujungnya hanya membuat hati semakin dongkol saja. Aremania bukan hanya sekadar suporter sepakbola, namun telah menjelma menjadi motivasi dan inspirasi untuk terus berkarya, menunjukkan eksistensi dan jati diri sebagai Kera Ngalam yang berjiwa Singo Edan! Kita pasti bisa, nawak!

Masih ada hal-hal lain yang lebih ‘wah’ untuk menunjukkan bahwa kita memang kreatif! Dibutuhkan sebuah totalitas dan semangat untuk meningkatkan eksistensi Aremania, disinilah sebenarnya loyalitas tanpa batas kita diuji. Mampukah kita menjadi pioneer (lagi) untuk hal-hal baru yang belum pernah ada. Sejauh apakah kita membanggakan diri sebagai Aremania, kalau hanya cukup puas dengan apa yang kita dapatkan selama ini. Man jadda wajada, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan.

Ayas bukanlah siapa-siapa, bukan orang besar yang punya kuasa besar pula, ayas hanya seorang Aremanita di Tanah Sunda yang tidak pernah bosan mengajak nawak-nawak untuk melangkah menjadi suporter yang lebih kreatif. Semoga ada pihak-pihak yang terinspirasi oleh pemikiran ayas ini.
Salam Satu Jiwa untuk suporter kreatif!

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

Aremania, Kita Harus Kuat!

Jum’at, 9 Juli 2010. Pagi hari, seperti biasa ayas membuka akun Facebook. Sebuah status dari teman SMK ayas, yang kebetulan anggota Arema Jalur Gaza yang sekarang pindah ke Bali, Bli Diamilano Siep, membuat ayas sedikit bingung, isinya:

bukan soal cengeng…
bukan soal suporter…
tapi ini tentang loyalitas…
yang kusebut LOYALITAS TANPA BATAS
bila perlu menggalang dana
AYO KER BARENG2
ini tim seratus persen tanpa APBD…
inilah kemandirian sebuah organisasi sepak bola
WHERE ARE YOU BLUE ARMY???
S1J

Robert Albert dan Sam Rosyid Arema Parahyangan

Ada apa lagi ini? Belum sempat ayas mencari tahu, tiba-tiba ada pesan singkat masuk dari Sam Dhedhet, anggota Arema Parahyangan yang berbunyi: Ker, yo opo iki?, kabare AIFC kok tambah tewur?
Ayas berkesimpulan bahwa memang sedang terjadi sesuatu secara cepat, padahal hari sebelumnya kita sudah mengetahui kabar baik. Ayas pun membalas pesan tersebut:

Wah, lieur Sam!
Baru wingi tenang, saiki gejolak maneh rupane
Nggarai ga mood lapo2 :(
Gawe skenario kok munggah mudhun ngene, emange sinetron!
Hehe, menghibur diri sendiri critane!
Ayas pun melanjutkan aktivitas sebagai mahasiswa magang di PT Ultrajaya Milk Industry, Tbk dengan tidak cukup konsentrasi karena belum mencari tahu lebih lanjut informasi mengenai Arema Indonesia. Alhasil, pikiran ayas menjadi tidak tenang pagi itu. Begitu ada kesempatan ayas pun membuka situs ongisnade.net via mobile. Terlihat salah satu judul headline “KRISIS (LAGI)? Belum Terima Bonus Juara dan Gaji, Pemain Arema Berhenti Latihan”. Melihat judulnya saja rasanya hati ayas tertohok begitu keras, sungguh sakit!

Sedikit penghiburan, ketika ayas berjalan di area pabrik, ayas melihat seseorang memakai soak Aremania berwarna biru sedang mengarahkan sopir truk untuk parkir. Ayas senang bukan main melihat tulisan ‘AREMANIA, the best supporter’ di bagian depan soak tersebut. Maklumlah, ayas di Bandung, bukan di Ngalam, jadi melihat siapa pun beratribut Aremania membuat ayas merasa menemukan nawak seperjuangan sebagai perantauan. Ayas langsung menemui nawak tersebut yang ternyata adalah kenek truk pengangkut material bahan baku, secara spontan ayas ngobrol menggunakan Bahasa Jawa berpadu Osob Kiwalan. Ayas bermaksud mengajaknya bergabung dengan Arema Parahyangan, namun ternyata domisilinya di Jakarta.

Walau singkat, namun memberi kesan kepada ayas bahwa atribut Aremania yang mungkin digunakan tanpa maksud dan tujuan apa-apa, dapat menjadi sebuah identitas yang membuat orang lain berasumsi bahwa pengguna atribut tersebut adalah Aremania. Tapi jangan salah, belum tentu yang memakai atribut Arema adalah gnaro Ngalam saja. Sebut saja Sam Agung Hercules, yang punya kisah bertemu dengan sekolompok orang yang memakai soak Arema, ketika diajak ngobrol menggunakan Bahasa Jawa, mereka tidak paham sama sekali.

Kembali ke berita yang membuat ayas menjadi resah di hari Jum’at itu. Mengutip kata-kata dari sebagian besar nawak-nawak Aremania, permasalahan finansial yang dihadapi Arema Indonesia adalah hal klasik, tidak sekali ini terjadi. Namun seklasik-klasiknya masalah ini, tetap saja akan membuat Aremania yang terlanjur ‘cinta mati’ menjadi gundah gulana.

Sebagai orang awam yang tidak punya kompetensi dalam bidang manajemen, kita memang tidak boleh serta merta menyalahkan Manajemen Arema Indonesia. Namun terlepas dari apresiasi setinggi langit kepada pihak Manajemen yang turut mengantarkan Arema Indonesia menduduki tahta tertinggi ISL 2009/2010 ini, tetap saja sebagian di antara kita merasakan kegeraman. Apa yang terjadi dalam tubuh Manajemen? Wallahu’alam.

Aremania bukanlah sekumpulan jenius pemenang olimpiade MIPA tingkat internasional. Aremania bukanlah himpunan jutawan dengan puluhan perusahaan. Aremania bukanlah golongan pejabat-pejabat tinggi yang mempunyai kuasa besar untuk melakukan banyak hal. Tapi Aremania adalah orang-orang yang memiliki rasa cinta terhadap Arema Indonesia.

Bicara mengenai cinta, tentu nawak-nawak memiliki persepsi sendiri-sendiri. Namun dengan modal cinta itulah nawak-nawak bereaksi kala mengetahui problematika yang terjadi dengan klub Singo Edan kebanggaan kita. Kebersamaan dan loyalitas menjadi alasan keikhlasan nawak-nawak rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk menonton secara langsung pertandingan Arema Indonesia, demi kontribusi untuk sesuatu yang Aremania sangat cintai.

Jangan sampai permasalahan ini berlarut-larut, sehingga Manajemen, klub, dan suporter mendapat julukan ‘Hanya Pura-Pura’ dari pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kondisi kita sekarang. Atau malah dengan tega hati ada yang menyebut problematika ini sebagai amunisi untuk psywar sebelum menghadapi kompetisi selanjutnya. Marilah kita sanggah pandangan tersebut dengan keyakinan bahwa kondisi yang real ini tidak dibuat-buat hanya untuk mendapatkan belas kasihan, tapi sebagai cambuk Aremania untuk benar-benar memantapkan hati lebih mencintai Arema Indonesia setulus hati.

Aremania bukanlah sekadar suporter. Lebih dari itu, telah menjadi bagian hidup yang tidak kemana-mana tapi dimana-mana. Permasalahan ini patutnya dijadikan momentum pendewasaan diri. Bukan lagi sibuk mengurusi gesekan dengan suporter lain, tapi bagaimana upaya kita menggali dana usaha, menarik minat investor, atau bahkan membeli saham seandainya PT Arema Indonesia Go Public. Sikap loyalitas dan kooperatif Aremania lah yang akan menjadi nilai plus dalam kelancaran usaha itu. Arema Indonesia adalah keyakinan bagi Aremania, dan Aremania adalah jiwa bagi Arema Indonesia. Apa bedanya? Tidak ada, karena telah menjadi sebuah kesatuan erat yang tak terpisahkan.
Arema Parahyangan Tour Senayan

Lepas dari kurang dan lebihnya Manajemen saat ini, untuk kedepannya hendaklah Manajemen diisi oleh orang-orang yang betul-betul cinta Arema Indonesia dan bangga menyebut dirinya sebagai Aremania. Namanya juga kekuasaan, siapa tahu ada motif lain dibaliknya. Bukannya ayas berburuk sangka terhadap Manajemen sekarang. Hanya jangan sampai ada yang punya pikiran bahwa Arema Indonesia adalah ladang subur untuk mengeruk keuntungan pribadi. Marilah kita bersama-sama introspeksi diri.

Memang, Aremania tidak memiliki hak untuk ikut campur ‘urusan rumah tangga’ Manajemen. Tapi ingat, Arema Indonesia sudah menjadi bagian hidup dari Aremania. Jadi sekecil apapun gejolak yang terjadi pada tubuh Manajemen dan berimbas pada tim, tentu akan mendapat perhatian besar Aremania yang jumlahnya tidak sedikit itu.

Aremania tentu siap menjadi partner Manajemen dalam mencari solusi. Marilah kita sama-sama perjuangkan nasib Arema Indonesia ke depan. Bukan lagi sekadar sepakbola, klub lokal kebanggaan warga Ngalam, tapi sudah menyangkut sebuah keyakinan di dalam jiwa tiap individu. Aremania siap menjadi garda terdepan untuk mempertahankan Arema Indonesia tetap ada.

Kesabaran Aremania memang sedang dan akan terus teruji sampai nanti, namun apakah semua pihak tidak dapat belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah lewat. Sudah cukup banyak masukan dari nawak-nawak tentang solusi yang masuk akal untuk menghilangkan masalah klasik ini selama-lamanya, yang dimuat oleh ongisnade.net. (Artikel Sam Andi, “Aremania Sodori Kontrak Robert?”, artikel “Darah Baru Untuk Arema Indonesia” oleh Sam Iskhaq Assyafi’i, dan solusi-solusi dari nawak-nawak yang lainnya) Namun suara nawak-nawak tersebut akan sekadar menjadi wacana kalau tidak ada pihak yang mempunyai kuasa besar untuk menindaklanjuti saran dan ide-ide tersebut.

Kita berharap agar pihak ongisnade.net selaku media yang dipercaya oleh nawak-nawak untuk mempublikasikan suara hatinya, dapat menjadi mediator dalam penyampaian aspirasi kepada pihak-pihak yang lebih punya kuasa, Manajemen misalnya. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh nawak-nawak yang memiliki pemikiran cemerlang tersebut diharapkan ongisnade.net lah yang berperan sebagai penyambung lidah. Siapa tahu media ini dapat berkontribusi lebih banyak lagi sebagai wujud cinta terhadap Arema Indonesia. Masalah bagaimana tanggapan pihak-pihak yang berwenang nantinya, itu lain perkara. Karena mungkin kita tidak sepaham mereka mengenai kebijakan-kebijakan seperti apa yang layak diambil. Semoga Manajemen benar-benar cinta Arema Indonesia. Itu penting, karena kita berbeda dari klub sepakbola lain yang ada di Indonesia. Kita adalah klub mandiri. Kita tidak akan pernah tahu sebelum mencoba, bukan?

Pepatah ‘semakin tinggi pohon, anginnya pun semaking kencang’ sekarang sedang terjadi kepada klub kita. Banyak cobaan yang sedang dan akan kita alami ke depan. Jangan diartikan sebagai halangan, namun hendaknya dijadikan tantangan yang harus ditaklukkan. Yakinlah dengan semangat kebersamaan dan loyalitas yang kita miliki, kita akan sanggup melewati ini semua. Kita memang perlu ditempa oleh bara panas agar kita benar-benar berjiwa baja! Siapapun pemain yang beranjak pergi meninggalkan Arema Indonesia, tak perlu lama-lama kita sesali, mengutip slogan dalam militer ‘Esa hilang, dua terbilang’, wajib kita yakini! Aremania adalah jelmaan jiwa-jiwa singa, kita harus kuat!

Pulang magang hari itu ayas segera ke Caringin, menemui nawak-nawak Arema Parahyangan, berharap dengan berkumpul bersama mereka, ayas dapat berbagi beban dan ada sesuatu yang dapat kami lakukan.
Aremania, jangan pernah tanyakan apa yang sudah kita dapatkan.
Tapi tanyakan apa yang sudah kita berikan.
Untuk Arema Indonesia.

Jangan hanya hati saja yang tergerak, badan kita pun mari bergerak.
Kita boleh saja menunggu, tapi jangan bertopang dagu.
Sembari berdoa, marilah kita usaha, demi kejayaan Arema Indonesia.

SALAM SATU JIWA!
Arema di hati, Arema sampai mati
Jum’at, 9 Juli 2010
@ Office Utility Departement
PT Ultrajay Milk Industry, Tbk.

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

Selasa, 26 Oktober 2010

Hari Suporter Nasional, Seberapa Pentingkah?

Hari Suporter Nasional (HSN)? Seandainya tidak sering update informasi dan melek internet, mungkin ayas tidak mengerti adanya hari penting bagi suporter bola tanah air itu. Maklum, dalam dunia nyata gaungnya kurang begitu terdengar.

Begitulah faktanya, kemeriahan peringatan HSN ini mungkin hanya ada dalam dunia maya. Karena beberapa suporter mengaku baru tahu adanya hari itu dari sms yang ayas kirim sebagai ucapan ‘selamat Hari Suporter Nasional’ berisikan semangat dan harapan-harapan kepada nawak-nawak suporter yang ayas kenal. Ayas pun belum mendapat kabar mengenai perayaan peringatan HSN ini. Ataupun kalau ada, hanya dilakukan oleh segelintir suporter.

Gagasan dideklarasikannya tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah terbentuknya Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), yang walaupun pada akhirnya ASSI ini hanya bertahan seumur jagung karena permasalahan internal. Menurut sumber www.suporter-indonesia.com 12 Juli 2000, dedengkot-dedengkot suporter klub-klub Indonesia mengadakan pertemuan di Kantor Redaksi Tabloid Bola di Jl. Palmerah Selatan No. 3 Jakarta. Dari pertemuan tersebut tercetuslah Hari Suporter Nasional, sebagai sarana untuk menularkan virus positif seperti persaudaraan, sportivitas, serta antikekerasan.

Seberapa pentingkah HSN bagi suporter? Ditinjau dari visi awal adanya HSN ini, tentu sesuatu yang patut mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama suporter. Namun, kondisi nyata tidak dapat dianggap selaras dengan harapan dicetuskannya HSN. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, sulitnya bagaikan mencampur minyak dengan air. Menyeragamkan visi dan mempererat tali silaturahmi antar suporter, seperti harapan HSN diperingati, mungkin hanya dirasakan oleh suporter tingkat elit. Sedangkan pada suporter grass root, bisa saja tidak mengenal visi tersebut, lagi-lagi menyangkut fanatisme yang dirasakan oleh pendukung klub dan berbagai kemelut antar suporter yang masih belum menemukan titik cerah.

Sejauh apakah eksistensi suporter Indonesia dipertanyakan, kalau hari ‘kebangsaannya’ saja tidak banyak diketahui. Hal ini bisa disamakan dengan seorang pelajar yang tidak mengerti adanya Hari Pendidikan Nasional. Sebuah acuan seberapa besar kita memaknai hari penting tersebut.
Aremania
Aremania dan Viking Tahun 2006

Semangat fanatisme suporter sangat terasa ketika mendukung tim kebanggaannya. Akankah sama fanatisnya apabila yang didukung adalah Tim Nasional Indonesia? Tentu pertanyaan tersebut akan menjadi sebuah mata rantai ke pertanyaan selanjutnya, Tim Nasional Indonesia seperti apakah yang mendapat dukungan secara fanatis, kalau sampai saat ini Timnas belum mampu beranjak menunjukkan tajinya di kancah internasional, minimal level Asia Tenggara? Dan pertanyaan bagaimanakah kinerja PSSI yang semakin lama kurang mendapat kepercayaan lagi ini mampu bangkit menepis anggapan yang terlanjur miring di kalangan publik pecinta sepakbola nasional.

Mungkin butuh waktu untuk mengetahui jawaban itu. Perlunya perbaikan dari segi kualitas pemain yang seiring dengan materi yang dibutuhkan, serta pembenahan infrastrukur yang belum pantas dianggap layak, tentu merupakan babak lain, namun masih terangkai dalam satu cerita. Lalu sambil menunggu jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, lantas apa yang dapat kita lakukan? Hanya menyalahkan pemerintah saja juga bukan solusi bijak. Dari hal kecil yang dapat kita lakukan, paling tidak cukup membuktikan bahwa sebagai suporter kita juga ingin punya andil dalam mengangkat prestasi sepakbola nasional sehingga bisa berbicara lebih banyak.

Mungkin kita bukan ilmuwan jenius yang mampu meraih penghargaan nobel. Kita bukanlah atlet nasional yang mampu membawa nama Indonesia di ajang dunia. Tapi kita adalah suporter, pecinta sepakbola Indonesia, ingin punya arti lebih bagi bangsa ini. Dengan bentuk dukungan terhadap klub dan Timnas, serta berperilaku sebagai suporter santun yang dewasa, sesuatu yang lebih dari cukup yang dapat kita lakukan. Ayo kawan, segera lakukan!

Tidak sedikit suporter yang menyatakan bahwa HSN tidak cukup penting, tidak lebih sekadar seremonial belaka. Bahkan ada yang berkomentar bahwa suporter di Eropa yang tidak punya HSN pun mampu menjadi suporter yang benar-benar fanatik terhadap timnas-nya, walau sudah jadi rahasia umum kalau suporter Eropa tersebut banyak yang saling bermusuhan. Kalau sudah begini, apakah kita pesimis dengan kemajuan sepakbola nasional dan suporter nasional? Tentu tidak boleh patah arang dan putus asa, kita harus selektif contoh memilih mana yang sesuai dengan nurani kita. Harus semangat!!!

Marilah kita saling berbenah… Agar Hari Suporter Nasional, Konferensi Suporter Sepakbola Nasional, dan Konferensi Sepakbola Nasional, dan segala yang berembel-embel Nasional tidak sia-sia digelar hanya untuk memuaskan kepentingan beberapa pihak saja. Walau tidak semua yang mengaku suporter mengetahui adanya Hari Suporter Nasional, bahkan memaknai arti dibalik peringatan tersebut, paling tidak ada harapan, momentum HSN dapat menjadi pengingat bahwa seberapa besar fanatisme terhadap tim kebanggaan, kita tidak akan lupa bahwa kita masih tetap satu Indonesia! Mewujudkan kebhinnekaan dalam wadah sepakbola Nasional!

Harapan-harapan mengenai sepakbola Indonesia di masa yang akan datang akan tetap menjadi motivasi bagi sebagian warga negara Indonesia yang dengan bangga menyebut dirinya suporter. Sepakbola yang sportif dan profesional akan menjadi tontonan menyenangkan. Tanpa direcoki oleh tindakan-tindakan suporter yang provokatif dan memancing emosi, justru gelaran atraktif suporter di tribun stadion akan menambah semarak pertandingan sepakbola tanah air, tentu akan menjadi sebuah keasyikkan tersendiri. Dan suporter pun dapat dengan bangga berada di stadion, tidak hanya ketika mendukung Arema Indonesia, Persib Bandung, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura, dan klub-klub lain, tapi juga mendukung Tim Nasional Indonesia berlaga di ajang internasional!

Jangan sampai even Piala Dunia yang begitu menyita perhatian membuat kita lupa bahwa hal yang lebih mendasar hampir kita lupakan, sesuatu yang berbau nasional, dan tidak jauh dari urusan bola juga. Inikah bentuk terkikisnya nasionalisme dalam diri kita? Atau wujud frustasi terhadap perkembangan sepakbola bangsa sendiri yang bisa dikatakan mati suri?

Selamat Hari Suporter Nasional!
Salam Satu Jiwa Suporter Indonesia!

Terima kasih untuk Mbah Tarno, Ovic, Sam Hendrik, Sam Boim ‘Arema Parahyangan’, Sam Ayib, Teguh, Amien, Andi Viking, Adit, Ined, Sam Noviar, Sam Victor, Joe, dan Ain Ongisnade yang dengan murah hati mau berbagi pemikiran tentang Hari Suporter Nasional.

(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

Arema Parahyangan dan Pemain Arema Indonesia

Sesuai jadwal, Arema Indonesia menghadapi Persib Bandung pada putaran kedua babak delapan besar Piala Indonesia 2010 pada tanggal 22 Juli 2010. Tim Arema Indonesia telah sampai di Bandung dua hari sebelum jadwal pertandingan.
Bersama Roman Chmelo
Selasa siang itu sebuah pesan singkat datang dari salah satu nawak Aremania di Bandung yang memberikan informasi mengenai jadwal uji coba lapangan tim Arema Indonesia di Stadion Siliwangi pukul 15.30 dan menyebutkan Hotel Galeria Topas yang terletak di daerah Pasteur (Jl. Djunjunan) Bandung sebagai tempat menginap para punggawa Singo Edan.

Sepulang magang, ayas menuju Stadion Siliwangi dan menemukan kondisi lapangan yang kurang layak untuk pertandingan selevel Piala Indonesia. Pukul 16.00 ayas tidak melihat sedikitpun tanda-tanda kedatangan pemain Arema Indonesia di sekitar stadion. Berhubung sejak mendapatkan pesan singkat itu ponsel ayas mati karena lowbat, ayas pun tidak dapat menghubungi siapapun untuk menanyakan kebenaran informasi tersebut. Petugas yang ada di kawasan stadion pun tidak mengetahui jadwal uji coba tim Arema Indonesia. Alhasil ayas memutuskan untuk pulang lagi menuju kawasan Cimahi sekitar satu jam menggunakan angkot.

Ayas cukup kecewa karena harapan ayas bertemu dengan pemain-pemain idola tidak kesampaian. Sesampainya di kost, ayas menghubungi Sam Dhedhet (nawak Arema Parahyangan) untuk berangkat ke Hotel Topas. Ayas berpikir, bagaimanapun juga harus ada usaha lagi ketika usaha pertama gagal. Ternyata menurut informasi, sebenarnya pemain Arema Indonesia jadi uji coba lapangan sore itu, namun terambat datang dikarenakan terjebak macet.

Sebelumnya, ayas minta maaf karena tidak bisa menyebarkan informasi kegiatan tim Arema Indonesia di Bandung via sms kepada nawak-nawak Aremania yang lain, karena ponsel ayas sedang error. Ayas hanya bisa menyebarkan via status Facebook saja. Mungkin ada pihak-pihak yang merasa kurang berkenan karena tidak mengetahui informasi ‘penting’ tersebut.

Pukul 19.00 ayas dan Sam Dhedhet berada di pinggir jalan Hotel Topas, sambil melihat-lihat situasi hotel. Kemudian datang beberapa nawak-nawak Aremania menghampiri kami, karena melihat ayas memakai soak bergambar kepala singa yang sudah tidak asing lagi di pinggir jalan. Bergabunglah Sam Untung, Sam Victor, Sam Joe, Teh Niken (yang membuat artikel “Izinkan Saya Menjadi Aremanita”), Sam Kamto, salah seorang saudaranya, dan satu Aremania licek. Rupanya mereka juga mendapatkan informasi yang sama.

Kemudian kami memasuki lobi hotel dan disambut oleh Sam Basuki, yang memang sudah standby sejak awal kedatangan tim Arema Indonesia di Bandung. Rupanya para pemain dan pelatih Robert Albert sedang makan malam di restoran hotel. Kamipun menunggu sambil berbincang ringan. Satu Aremania pun datang menyusul, yaitu Sam Deddy. Ketika mendengar sorak “Salam Satu Jiwa, Arema Indonesia” yang dilakukan pemain, kamipun bersiap-siap untuk menyambut mereka.
Tanda Tangan Roman di Punggung

Pukul 19.36 satu per satu wajah-wajah yang selama ini bisa kami lihat dari layar televisi dan dari kejauhan saat di stadion, secara nyata ada di depan mata. Kami menyalami mereka yang malam itu kompak mengenakan soak tim warna biru, dan secara refleks meminta foto bersama dengan mereka, walaupun secara individu (tidak secara tim). Mereka kemudian menuju kamar masing-masing. Kami pun masih berada di lobi, menunggu sang Pelatih, Mr. Robert yang kebetulan masih melakukan santap malamnya. Sembari menunggu itu, kami melihat para pemain satu persatu keluar dari kamarnya, berjalan melaui koridor dan menuju lobi, mereka telah berganti pakaian menjadi lebih santai. Kesempatan itu pun kami manfaatkan untuk foto-foto lagi. Kami sempat menanyakan hendak kemana mereka pergi, dengan santai Roman menjawab bahwa dia akan shopping. Kebetulan Hotel Topas berdekatan dengan pusat perbelanjaan BTC (Bandung Trade Centre).

Ketika Mr. Robert telah selesai makan malam. Kami pun mendekatinya untuk meminta berfoto bersama. Sam Victor dan Sam Joe saling meneriakkan kata-kata “COACH, WE LOVE YOU, STAY IN AREMA PLEASE…”
Mr. Robert pun menjawab “I’M HERE BECAUSE I LOVE AREMA AND AREMANIA, BUT I DON’T LIKE …”. Jawaban yang menggantung itu cukup membuat kami merasa tersentak dan sedih secara tiba-tiba! Kami mendengar dari mulutnya sendiri. Sebagian dari kami hanya terdiam, tak tahu harus merespon dengan cara seperti apa. Terlalu nyata kelanjutan jawaban itu.

Berhubung kedatangan kami ke Hotel Topas tersebut mendadak dan tidak direncanakan, tentunya kami pun tidak memikirkan harus membawa ‘senjata’ apa ketika bertemu punggawa-punggawa Singo Edan. Akhirnya Sam Victor mengajak ayas untuk membeli spidol yang akan digunakan untuk meminta tanda tangan. Kami berlari-lari di pinggir padatnya lalulintas Pasteur di malam hari sejauh kurang lebih 200 m untuk membeli spidol.

Kemudian kami meminta tanda tangan kepada Mr. Robert, dengan begitu ramahnya beliau menanggapi permintaan kami. Sungguh terbukti bahwa beliau merupakan sosok yang ‘low profile’. Sangat menyenangkan berjabat tangan erat dengannya. Aura seorang pemimpin benar-benar keluar dari dalam jiwa pelatih kesayangan warga Ngalam tersebut. Kami membuktikannya malam itu. Sengaja ayas meminta beliau untuk membubuhkan tanda tangannya pada kerudung ayas!

Kurnia Meiga, Piere Njanka, dan Ridhuan yang sedang duduk santai di beranda depan dengan senang hati mau membubuhkan tanda tangan mereka pada soak yang masing-masing dari kami kenakan. Ketika itu Piere Njanka sedang berkomunikasi via ponsel menggunakan bahasa asing-nya, namun tetap saja mau melayani permintaan tanda tangan.

Malam itu para pemain yang bertemu dengan kami adalah Piere Njanka, Roman Chamelo, M. Ridhuan, Kurnia Meiga, Iswan Karim, Irfan Raditya, Benny Wahyudi, Zulkifli, Waluyo, Hermawan, Ronny Firmansyah, Ahmad Bustomi, Djalaludin Main, Alfarizi, Fakhruddin, Rahmad Afandi, dan Dendi Santoso. Sedangkan Noh Alamsah yang dikabarkan akan turut memperkuat tim akan datang menyusul.

Kami yang merasa menjadi penggemar fanatik, tanpa segan meminta berfoto bersama mereka serta mendapatkan coretan dari tangan mereka untuk sebuah kenang-kenangan yang bernilai. Ibaratnya minta foto dan tanda tangan adalah wajib hukumnya bagi kami, sebuah prestise sebagai penggemar mendapat kenang-kenangan dari idolanya. Hal yang cukup wajar sebagai Aremania yang selalu mendukung mereka selaku pemain kesebelasan di lapangan.

Sekitar pukul 21.00 pemain mulai kembali ke hotel, karena jam malam telah berlaku bagi mereka. Kami pun memilih berpindah ke depan hotel untuk menyambut pemain yang baru pulang dari jalan-jalan, dengan lagi-lagi meminta berfoto dan tanda tangan tentunya.
Bersama Robert Albert di Lapangan Brigif Cimahi

Arema Parahyangan mengobrol dan saling berkomentar tentang ‘pahlawan’ Bumi Arema tersebut, saling bercerita bahwa sebagian besar dari kami baru kali pertama mengalami situasi seperti malam itu. Berada dalam jarak yang sangat dekat dengan pemain sepakbola yang ketenarannya menyamai selebritis maupun politisi tersebut membuat perasaan kami berbunga-bunga, bahkan kaki ayas terasa lemas, dan sensasi merinding pun beberapa kali terjadi. Begitulah hebatnya bertemu idola.

Ayas merasa sangat beruntung hari itu. Awalnya ayas gagal melihat mereka latihan, membuat ayas setengah kecewa, kemudian tergantikan dengan kesuksesan bertemu mereka. Butuh usaha ekstra setelah usaha pertama gagal. Pukul 21.30 kami memutuskan untuk pulang ke tempat masing-masing dengan hati yang begitu riang.

Keesokan harinya, Rabu, kami mendapatkan informasi tempat latihan tim Singo Edan di Lapangan Brigif Cimahi. Kabar lain dari nawak-nawak di Malang, foto dan berita mengenai Arema Parahyangan dimuat pada salah satu harian surat kabar terkemuka di Malang. Pukul 15.30, ayas datang sendiri ke lokasi yang terletak di kawasan komplek militer tersebut. Sudah ada Sam Basuki yang duduk di tenda komando. Kemudian satu persatu nawak-nawak Arema Parahyangan berdatangan. Sekitar 15 nawak Arema Parahyangan melihat langsung acara latihan mereka. Dengan asyik kami memperhatikan mereka dari pinggir gawang, tak lupa kamera mengabadikan aksi mereka sore itu. Terlihat santai dan begitu akrab, pemain berlatih sambil sesekali saling melemparkan guyonan. Beberapa kali diantara kami meneriakkan dukungan kepada pemain yang sedang melakukan latihan.

Sore itu rupanya Along sudah bergabung dengan Skuad Singo Edan, beberapa kali Along menerjemahkan instruksi dari Mr. Robert. Namun dalam sesie latihan tersebut tidak tampak M. Ridhuan di antara mereka. Pukul 17.00 mereka mengakhiri latihan dengan sorakan penutup yang sama dengan pembuka, “Salam Satu Jiwa, Arema Indonesia!”. Kemudian mereka langsung menuju Bus Damri AC berplat kuning yang menjadi alat transportasi mereka selama di Bandung. Lagi-lagi Mr. Robert yang berjalan paling akhir bersedia memenuhi permintaan foto bersama dari kami.

Doa tulus menyertai mereka, semoga hari berikutnya mereka dapat menunjukkan performa terbaik di kandang Maung Bandung. Tempat pertandingan yang sedianya dilakukan di Stadion Siliwangi, dipindah ke Stadion Si Jalak Harupat Soreang Kabupaten Bandung.

Entah, malam sebelumnya kami bermimpi apa, dapat bertemu langsung, berjabat tangan, berfoto, meminta tanda tangan, dan sedikit mengobrol dengan tim Arema Indonesia. Yang membuat spesial adalah itu semua kami dapatkan di Bandung. Belum tentu di Malang kami dapat merasakan pengalaman menyenangkan tersebut. Semua itu akan kami kenang dalam perjalanan kami sebagai Aremania di Tanah Sunda, Arema Parahyangan.

Apa yang kami lakukan tersebut merupakan wujud dukungan nawak-nawak Aremania di Bandung terhadap tim Arema Indonesia secara nyata. Ya, di Bandung ada Aremania yang tak kalah fanatik dengan di Bumi Arema sendiri maupun kota-kota lain. Semoga hal-hal yang Arema Parahyangan lakukan dapat menjadi sebuah bukti bahwa kami ada. Selayaknya nawak-nawak Aremania, khususnya di Stadion Kanjuruhan juga menyadari keberadaan kami yang berada di daerah ‘abu-abu’ ini untuk dijadikan pengendali agar tidak meneriakkan yel-yel rasis terhadap klub lain sesama biru yang kebetulan bermarkas di Bandung. Karena sebenarnya, Arema Parahyangan di Bandung pun telah sedikit demi sedikit bermediasi dengan Bobotoh. Mohon dukungan dari nawak-nawak Aremania yang lain.

Salam Satu Jiwa
(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

KA Malabar, Romantisme Aremania - Bobotoh

Kereta Api Malabar, yang mengabadikan secara akronim kedua nama kota yaitu Malang dan Bandung, adalah sebuah inspirasi tersendiri bagi nawak-nawak Aremania di Bandung yang tergabung dalam Arema Parahyangan. Sejarahnya, KA Malabar yang mulai beroperasi sejak 30 April 2010 lalu, merupakan bekas KA Parahyangan yang berhenti beroperasi pada tanggal 27 April 2010 karena dianggap sudah tidak menguntungkan lagi.
Kereta Api Malabar

KA Malabar yang melayani jalur Malang – Bandung, merupakan rangkaian kereta unik, dengan 2 gerbong eksekutif, 3 gerbong bisnis, dan 2 gerbong ekonomi. Jadwal keberangkatan dari Stasiun Bandung setiap pukul 15.30 WIB dan tiba di Stasiun Malang pukul 8.11 WIB. Dari Stasiun Malang berangkat pukul 13.30 WIB dan tiba di Stasiun Bandung pukul 08.37 WIB.

KA Malabar menjadi simbol hubungan kedua kota yang mempunyai keterikatan emosi yang cukup kuat dengan Arema Parahyangan. Malang sebagai kota kelahiran, tempat asal, dan kampung halaman, sedangkan Bandung adalah tempat untuk menimba ilmu, mencari rejeki, dan melanjutkan hidup. Menempuh perjalanan darat selama 17 jam, dengan ongkos murah, dan kenyamanan yang tidak kalah dengan transportasi lain, membuat KA Malabar menjadi pilihan untuk mencapai Malang dari Bandung, dan begitu pula sebaliknya.
Menjadi Aremania di basis Bobotoh, sebuah hal unik yang menjadi salah satu kebanggaan kami sebagai Aremania perantauan. Kami dapat hidup berdampingan dengan Bobotoh yang seolah-olah dilahirkan memang untuk menjadi pendukung fanatik Maung Bandung. Tak kalah fanatiknya dengan gnaro Ngalam yang juga menjadi pembela setia Singo Edan.

Namun dengan segala isu yang berkembang akhir-akhir ini, membuat kami sedikit banyak merasa tidak nyaman. Ketidaktentraman tersebut menyusul akibat kurang harmonisnya kedua suporter yang dahulunya tidak punya sejarah pertikaian sama sekali. Sejak awal kompetisi musim 2009/2010, dengan segala argumentasi siapa yang memulai kemelut terlebih dahulu, tentu masing-masing pihak merasa bahwa kubunya-lah yang menjadi korban oleh pihak satunya. Apabila hal ini terus-menerus diungkit-ungkit hanya untuk mencari kambing hitam, maka tidak akan ada penyelesainnya, justru kemelutlah yang semakin meruncing.

Mungkin KA Malabar belum dapat menyaingi ketenaran KA Matarmaja yang beberapa kali menjadi sejarah sebagai sarana transportasi perjuangan Aremania mendukung tim kebanggaan Arema Indonesia dalam laga kandang di ibu kota dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Namun, besar harapan agar KA Malabar dapat menghubungkan kedua suporter biru berbeda kota tersebut. KA Malabar mampu menjadi kereta cinta penuh perdamaian untuk Aremania dan Bobotoh.

Berakhirnya musim kompetisi 2009/2010 ini, tak membuat dinamisasi kedua suporter terhenti. Baik secara individu maupun kelompok, Arema Parahyangan melakukan pendekatan-pendekatan kepada Bobotoh, pun sebaliknya. Keberadaan Arema Parahyangan yang semakin solid di Bandung telah diketahui oleh Bobotoh, tepatnya beberapa pentolan Viking Persib Club. Respon mereka pun cukup hangat mengetahui bahwa di daerahnya terdapat sekumpulan Aremania, pendukung setia Arema Indonesia. Aremania di Bandung telah bergerak, lalu bagaimana dengan nawak-nawak di Ngalam khususnya?
Arema Parahyangan Bersama Pemain Arema Indonesia di Bandung

Terlepas dari kedekatan masing-masing suporter biru dengan suporter warna lain, sehingga hampir terlihat menjadi dua blok yang saling berseberangan. Hendaknya kedua suporter biru ini menjadi peredam segala kemelut, bukan semakin memperparah keadaan. Permasalahan dengan suporter lain cukup menjadi masalah satu suporter saja. Dalam hal ini bukan berarti kami menyetujui permusuhan antar suporter! Hanya untuk meminimalisir gesekan dengan suporter yang sebelumnya tidak punya sejarah permusuhan, Aremania dan Bobotoh misalnya. Kultur kedua suporter biru yang hampir sama hendaknya menjadi pemersatu di atas segala perbedaan.

Segala kesalahpahaman yang pernah terjadi ketika laga di Malang, maupun dalam tour Jakarta (30 Mei 2010) tidak secara serta merta dilakukan oleh masing-masing suporter. Kurangnya komunikasi dan kesan ‘membiarkan’ gesekan-gesekan kecil di kalangan grass root ini menyebabkan sebuah trauma yang cukup sulit dihilangkan bagi suporter. Sehingga butuh waktu dan usaha keras untuk benar-benar menjadikan hubungan Aremania – Bobotoh seperti sedia kala, yang guyub, rukun dan harmonis!

Secara pribadi Arema Parahyangan cukup jengah dengan yel-yel rasis yang terjadi pada tanggal 18 Juli 2010 saat penayangan langsung pertandingan 8 besar Piala Indonesia antara Arema Indonesia dan Persib Bandung di Stadion Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang. Kami menyesalkan nyanyian yang jelas-jelas didengarkan oleh Bobotoh (dalam hal ini Viking). Mungkin hal tersebut cukup biasa sebagai dinamisasi suporter di lapangan, namun bagi Arema Parahyangan yang cukup ‘baik-baik saja’ selama hidup berdampingan dengan Bobotoh, ikut merasakan tersentil dengan yel-yel tersebut. Kami tahu, paling tidak ada pihak-pihak yang merasa tersakiti. Sama halnya dengan kami yang juga merasa sama tersakiti kala mendengar rasisme di Stadion Siliwangi maupun Stadion Si Jalak Harupat. Lalu sampai kapan tindakan yang ‘terlalu kreatif’ ini akan berlanjut?

Ketika Arema Indonesia memenangkan pertandingan dalam leg pertama tersebut, beberapa Bobotoh mengucapkan selamat kepada kami. Kami membalasnya dengan ucapan minta maaf atas ulah nawak-nawak di stadion. Toh, pada kenyataannya hubungan Aremania – Bobotoh di Bandung masih dalam kondisi bersahabat. Walau ada saja yang anarkis secara verbal terhadap kami, itu pun kami yakin bahwa yang berbuat seperti itu adalah suporter yang tidak dewasa, dan tidak mengenal kami secara personal. Pada intinya, kami dapat hidup berdampingan dengan Bobotoh, di Bandung, kota mereka.

Semoga dengan dibukanya akses Malang – Bandung secara langsung dengan KA Malabar ini menjadi babak baru dimulainya pendewasaan suporter. Aremania dapat berkunjung ke Bandung, begitu pula Bobotoh dapat leluasa mengunjungi Aremania, ketika tidak sedang bertanding sekalipun!

Mohon nawak-nawak Aremania dimanapun berada dapat merespon tulisan berdasarkan kondisi nyata ini, sebagai upaya perdamaian antar Aremania dan Bobotoh. Jangan sampai kedua suporter ini menjadi korban propaganda pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Ingat, kita adalah suporter, bukan gangster! Jabat Erat, Kabeh Dulur!
Terima Kasih untuk PT Kereta Api!

Salam Satu Jiwa!
(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)

NB: Terima kasih untuk rekan-rekan Viking yang telah menerima kedatangan ayas sebagai Aremanita secara welcome pada tanggal 17 Juli 2010, bertepatan dengan Hari Jadi Viking Persib Club ke-17.

Surat Untuk Sam Yuli Sumpil

Tanggal 1 Agustus, ayas dan beberapa nawak2 Arema Parahyangan berkesempatan ke Solo menyaksikan Final Piala Indonesia. Kami menitipkan surat kepada salah satu Aremania yang kami percaya untuk menyampaikannya kepada Sam Yuli Sumpil selaku dirigen Aremania.
Semoga surat tersebut dapat dipublikasikan. Kami belum tahu apakah surat tersebut sampai dan dibaca oleh Sam Yuli apa belum, karena kami terkendala masalah komunikasi dengan Aremania yang kami titipi surat tersebut.
Bandung, 31 Juli 2010
Yth.
Dirigen Aremania
Sam Yuli Sumpil


Salam Satu Jiwa!
Apa kabar Sam? Semoga Sam Yuli selalu dalam keadaan sehat dan tetap bersemangat memandu nawak-nawak di Stadion. Sebelumnya, perkenalkan kami adalah Arema Parahyangan, paguyuban gnaro-gnaro Ngalam di Bandung, tentunya Aremania telah identik dengan jiwa kami.
Seperti Aremania perantauan di kota-kota lain, disini kami pun selalu membawa semangat Singo Edan. Walaupun Bandung tak seramah dulu bagi Aremania. Kita sama-sama tahu bahwa kemelut Aremania – Viking yang akhir-akhir ini terjadi adalah faktor yang membuat situasi menjadi kurang harmonis. Namun, sebelumnya tidak ada sejarah pertikaian kedua suporter biru tersebut. Gesekan yang pernah terjadi lebih ditimbulkan karena masing-masing dari kedua suporter berkubu dengan suporter lain (Bonek dan The Jakmania).
Kembali ke persoalan, salah satu bukti nyata kemelut Aremania – Viking dapat dilihat dari yel-yel rasisme di Stadion yang dinyanyikan oleh kedua suporter. Bagaimanapun juga di Stadion itulah bentuk representasi hubungan keduanya, sehingga terkesan bermusuhan. Padahal
kenyataannya, tidak semua suporter setuju dengan hal itu, contohnya kami, Arema Parahyangan.
Saat ini, kami mulai solid dan serius menjadikan Arema Parahyangan sebagai bentuk eksistensi Aremania di Bandung, berbagai rencana telah kami susun. Salah satunya adalah mengadakan pendekatan dengan pihak Viking. Beberapa anggota kami telah bertemu dan berkomunikasi secara intens kepada pihak Viking, mereka pun telah mengetahui bahwa di Bandung ada Arema Parahyangan, yang merupakan bagian dari Aremania, mereka menyambut baik niat kami tersebut. Bagaimanapun juga kami adalah pendatang di tanah mereka, sehingga kami merasa perlu untuk kulo nuwun terlebih dahulu.
Keberanian kami menunjukkan jati diri sebagai Aremania di Bandung semakin mendapat angin segar dengan dukungan dari Bobotoh (Viking khususnya) yang cukup akrab dengan kami.
Kami bermaksud meminta dukungan dari Sam Yuli, selaku dirigen Aremania yang notabene telah menjadi leader Aremania di Stadion. Kami memohon dengan sangat untuk menghilangkan yel-yel rasis, khususnya yang ditujukan kepada Viking. Karena hal itu akan berdampak bagi hubungan Aremania – Viking, dan bagi kami Aremania yang secara nyata hidup berdampingan dengan Viking di Bandung. Kami merasa sungkan apabila di televisi terdengar rasisme ketika pertandingan kepada Viking, padahal dalam pertandingan tersebut Arema Indonesia tidak sedang melawan Persib Bandung. Kami sering merasa malu dan minta maaf kepada mereka.
Tidak semua Viking seperti Ayi Beutik yang mungkin telah terkontaminasi suporter lain. Masih ada Viking yang menghargai Aremania, kami sering bertukar pikiran, saling menyapa ala suporter ketika bertemu. Sesungguhnya hal seperti itu sangat menentramkan, daripada saling mengejek secara rasis, anarkis secara verbal.
Kami sadar, bahwa harga diri Aremania telah diinjak-injak melalui yel-yel Viking yang pernah dinyanyikan, kami juga merasa sedih. Namun terlepas dari kejadian-kejadian yang telah terjadi baik gesekan secara langsung maupun tidak langsung, kami berharap semua pihak dapat introspeksi diri menjadi suporter yang lebih santun. Karena masalah di lapangan dapat berimbas kepada kehidupan nyata.
Tidak jarang kami mendapat cacian yang kurang enak di dengar karena identitas kami sebagai Aremania (memakai atribut). Padahal dimanapun berada kami selalu membanggakan diri sebagai Kera Ngalam yang berjiwa Singo Edan. Apakah kami harus rela diejek dan dihina ketika menunjukkan eksistensi kami sebagai Aremania?
Tapi secara keseluruhan kami masih dapat hidup berdampingan dengan cukup nyaman bersama Bobotoh (Viking khususnya). Jangan sampai apa yang terjadi di Stadion, dalam hal ini segala bentuk rasisme terhadap suporter lain, berdampak bagi dulur-dulur Aremania di perantuan, di Bandung misalnya. Mohon kiranya Sam Yuli dapat mengerti hal ini. Terima kasih atas perhatiannya.
Arema tidak kemana-mana tapi dimana-mana!

Tour Solo Arema Parahyangan

Ketika Arema Indonesia memastikan diri melangkah di Final Piala Indonesia 2010, Arema Parahyangan yang mengadakan nobar tanggal 28 Juli 2010 di GOR Pasadena Regency Caringin Bandung langsung berniat mengadakan Tour ke Solo, tempat berlangsungnya pertandingan terakhir even tahunan tersebut digelar.
Aremania
Bendera Aremania Bandung di Sentle Ban Stadion Manahan
Besoknya, tersebar informasi rencana tour ke Solo kepada anggota. Hingga sehari sebelum keberangkatan, hanya sedikit yang berminat untuk turut hadir di Stadion Manahan. Tentunya bukan karena kurang loyalnya Aremania di Bandung, namun pertimbangan jarak dan waktu tempuh Bandung – Solo sehingga dikhawatirkan menganggu aktivitas keseharian nawak-nawak yang sebagian besar mempunyai tanggung jawab di tempat kerja. Apalagi final tersebut rencananya dilaksanakan malam hari.

Full Attribute
Sempat terdengar kabar pembatalan keberangkatan Arema Parahyangan di acara bergengsi tersebut karena kurangnya minat anggota. Namun ada beberapa nawak-nawak yang tetap keukeuh ingin menyaksikan secara langsung bagaimana punggawa-punggawa Singo Edan berlaga sekaligus keinginan untuk menjadi duta Arema Parahyangan di tengah-tengah Aremania yang berkumpul dari penjuru kota-kota di Indonesia. Dengan beberapa koordinasi dan lobi disana-sini, akhirnya ayas, Sam Deddy, Sam Victor, Sam Dody, Sam Joe, dan Sam Nanang sepakat nekat berangkat.

Setelah berkoordinasi dengan gnaro-gnaro yang dituakan, kami akhirnya mendapat restu dari Ketua dan Pengurus-Pengurus Arema Parahyangan (ArPar) yang lain. Kami sepakat menyewa libom demi efisiensi waktu, walaupun dengan biaya yang cukup nayamul tapi kami optimis untuk berangkat.

Kami janjian berkumpul di rumah nawak ArPar di daerah Caringin pukul 19.00. Namun sampai pukul 23.00 kami belum berangkat juga. Berita buruknya, libom yang sedianya kami sewa ternyata mengalami kecelakaan dan belum mendapat ganti. Sehingga kami menumpang libom-nya Pak Yono (Wakil Ketua ArPar) bersama Pak Andik (Ketua ArPar) yang juga berniat berangkat ke Solo, sambil menunggu libom pengganti.

Di daerah Kiara Condong, rupanya kami sudah ditunggu selama setengah jam oleh Sam Khoirul yang memiliki bendera Aremania Bandung, kira-kira lebarnya 5 x 3 meter yang akan kami bawa serta ke Solo sebagai identitas. Kemudian kami mampir lagi ke rumah Sam Basuki di daerah Ujung Berung untuk mengambil ‘uang pesangon’ dari donator. Begitulah totalitas dan loyalitas keluarga besar Arema Parahyangan di Bandung, walaupun tidak bisa hadir langsung di Stadion, tapi nawak-nawak tersebut memiliki kepedulian bagi duta-duta ArPar yang pergi ke Solo.

Sampai di Cibiru, daerah paling timur Kota Bandung, libom dari rental datang bersama seorang sopir dari daerah Lembang. Pak Yono, Pak Andik, Sam Deddy, dan Sam Nanang berada di libom yang satu, sedangkan Ayas, Sam Joe, Sam Dody, Sam Victor dan Sopir berada di libom sewaan. Pembagian ini berdasarkan siapa saja yang bisa menyetir libom, sehingga dapat bergantian. Kami pun meninggalkan kota Bandung tepat tengah malam, menempuh jalur Selatan, menuju Solo.

Pukul 04.30 kami mampir di SPBU di daerah Cilacap. Pukul 09.00 kami sampai di daerah Yogyakarta, dengan acara ‘nyasar’ terlebih dahulu. Itulah akibat kalau Dora tidak dibawa touring, kami jadi tidak punya peta sebagai pedoman! J Kami mampir di sebuah rumah makan untuk mengisi energi dan menyempatkan untuk membersihkan diri. Ketika akan melanjutkan perjalanan, kami memasang atribut Arema di kap depan libom dan menggantungkan syal di kaca spion.

Pukul 11.30 kami sampai di daerah Solo, di sana kami mampir ke rumah kakaknya Pak Yono. Kami disambut dengan baik oleh tuan rumah dan dipersilahkan istirahat. Melihat tikar terhampar di ruang tamu dan beberapa bantal di atasnya membuat sam-sam tak kuat untuk tidak merebahkan diri. Akhirnya bagaikan ikan pindang berjajar, nawak-nawak pun dengan cepat berlayar di negeri kapuk J. Kami pun mendapat jamuan makan siang yang luar biasa mantap, sajian urap-urap, menu yang kami rindukan. Terima kasih untuk keluarga Kakaknya Pak Yono. Sebuah perjalanan yang menambah saudara.

Bendera Aremania Bandung di Patung Manahan
Pukul 13.00 kami menuju Stadion Manahan yang ditempuh dalam waktu 15 menit dari kediaman Kakaknya Pak Yono tersebut. Tanpa perlu susah payah, akhirnya kami memasuki area Stadion. Sam Joe yang siang itu didaulat menjadi sopir tidak segera memarkir libom, kami justru berputar-putar di area stadion, diakui atau tidak kami ingin ‘memamerkan Plat D’. Kami ingin nawak-nawak mengetahui kehadiran Aremania dari Bandung. Di Bandung, ada Aremania yang eksis. Selanjutnya kami pun menenteng bendera identitas yang tidak ringan, untuk diabadikan bersama Patung Manahan yang menjadi icon Stadion kebanggaan Pasoepati tersebut.

Kemudian kami berkeliling stadion, membeli merchandise, dan mencari tiket. Untuk urusan tiket, kami terpaksa membeli tiket ekonomi dengan harga Rp 45.000,00. Jangan salahkan kami yang menjadi ladang subur bagi calo tiket yang tidak sedikit itu, karena kekhawatiran kehabisan tiket tentunya. Rupanya mafia calo tiket ini membuat suporter yang begitu loyal tak kuasa untuk mengatakan tidak! Berapapun harganya akan kami bayar juga, demi sebuah perjalanan yang tidak dekat dan demi totalitas terhadap Arema Indonesia. Rasanya ingin memberi umpatan kepada calo tiket tersebut, yang dengan begitu sadisnya merampok suporter loyal.

Selanjutnya, kami mengobrol dengan beberapa Aremania yang kebetulan dikenal oleh Pak Andik, dan rupanya ada salah satu dedengkot Aremania Ngalam di antara mereka. Kepada Aremania tersebut kami menceritakan eksistensi Arema Parahyangan dan bagaimana hubungan kami dengan Bobotoh, khususnya Viking. Kepada Aremania tersebut ayas mempercayakan surat yang kami tujukan kepada Sam Yuli Sumpil, meminta dukungan perdamaian Aremania – Bobotoh. Semoga surat tersebut dapat sampai ke tangan Sam Yuli dan dapat terealisasi, demi terwujudnya slogan yang dahulu sempat dikoar-koarkan, yaitu No Racism! Semoga hal kecil yang kami lakukan dapat menjadi sebuah usaha ikhlas untuk ‘kemerdekaan’ berkespresi kami. Dan sebuah bukti bahwa kami tidak tinggal diam dan menerima begitu saja dengan kemelut antar suporter yang terjadi.

Pukul 16.30 kami memasuki stadion. Menonton laga eksebisi antara Polda Jateng vs Persis Solo, menjadi sebuah hiburan tersendiri sebelum laga sebenarnya. Nawak-nawak ArPar tak mau ketinggalan turut memasang bendera identitas Aremania Bandung di sentle ban sebelah selatan, tepat di depan suporter Persis Solo, Pasoepati, yang kebetulan menjadi tuan rumah. Sebelum kick off pukul 20.00, kami memulai pemanasan dengan yel-yel seperti biasa, dan menyanyikan dengan hikmat lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Seperti yang nawak-nawak ketahui, pertandingan berlangsung dengan cukup panas. Aremania yang biasanya selalu bersemangat menyerukan yel-yel dukungan, malam itu lebih banyak terdiam menyaksikan laga pembuktian siapa yang terbaik di ajang Piala Indonesia. Keputusan wasit (menurut Aremania) yang berpihak menimbulkan emosi Aremania menjadi sedikit ‘liar’. Muncullah kalimat rasis untuk wasit.

Kurangsigapnya pihak kepolisian yang membiarkan penonton tanpa tiket memasuki stadion sebe
lah timur secara paksa juga turut menambah kecewa kami. Bahkan saking banyaknya penonton, hingga meluber ke daerah sentle ban, yang seyogyanya steril dari penonton, membuat beberapa bendera Aremania terinjak-injak.
Aremania
Arema Parahyangan di tribun penonton

Jeda pertandingan selama satu jam yang terjadi, membuat Aremania yang memadati Stadion Manahan menjadi bertanya-tanya. Beberapa kali kami berkomunikasi dengan nawak-nawak ArPar yang sedang nobar untuk mengetahui tayangan di televisi, dan yang di Bandung pun ingin mengetahui kondisi kami. Sembari menunggu pertandingan dilanjutkan, kami pun beryel-yel “Kami Arema. Salam Satu Jiwa. di Indonesia, ‘kan s’lalu ada. S’lalu bersama, untuk kemenangan. Kami Arema.” berkali-kali dengan bervariasi gerakan. Satu hal yang mungkin tidak diketahui oleh nawak-nawak Aremania korwil TV adalah ketika jeda tersebut, berterbanglah beberapa balon entah hasil kreativitas siapa itu yang cukup suasana sedikit riang, karena balon tersebut menurut beberapa Aremania berasal dari alat kontrasepsi. Cukup membuat ayas tertawa geli, ada-ada saja.

Ketika Sriwijaya FC berhasil memecah skor menjadi 1 – 0, secara tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati Aremania. Sayangnya ada pihak-pihak yang tidak dewasa, melempari suporter Sriwijaya ketika mereka beryel-yel merayakan keunggulan kedudukan tersebut. Aksi M. Ridhuan membobol pertahanan Hendro Kartiko membuat Aremania kembali ceria, itulah tim bermental juara, begitulah pendapat kami. Namun ketika skor akhir menjadi 2 – 1, sampai berakhirnya babak tambahan waktu, cukup membuat kami kecewa.
Ayas yang duduk di tribun timur paling depan, sempat hampir mendapatkan lemparan botol air mineral dari arah atas. Tak ayas pungkiri, itu ulah Aremania sendiri yang kurang bisa mengontrol diri. Aksi pembakaran banner pun juga terjadi, suatu tindakan anarkis! Ayas hanya bisa memeluk dua boneka singa berwarna biru milik Sam Victor dan Sam Joe yang sejak pertama ayas bawa. Ayas hanya diam, tercekat melihat kebrutalan nawak-nawak. Ayas mengerti bagaimana begitu kecewanya kami. Kecewa pada siapakah? Pada pemain yang tidak bisa bermain sportifkah? Pada kepemimpinan wasitkah? Pada polisi-polisi yang sedang berjagakah? Pada nawak suporter Aremania sendirikah? Atau pada keadaan?

Arema Parahyangan sengaja menyaksikan dari kejauhan prosesi penganugerahan gelar kepada jawara-jawara Piala Indonesia 2010. Kami menjadi yang terakhir turun dari tribun timur. Runner-up, patut disyukuri. Mungkin tidak ada yang tahu, bahwa pada pertandingan itu kami mengajak serta orang Bandung asli menonton langsung di Stadion Manahan. Ya, Pak Sopir kami cukup anteng duduk diantara Aremania, dan komentarnya bahwa permainan Arema Indonesia malam itu sesungguhnya bagus, membuat kami sedikit terhibur.

Tengah malam kami meninggalkan Stadion Manahan. Menuju sebuah warung untuk nakam, sambil terus mendiskusikan jalannya pertandingan yang cukup melelahkan malam itu. Selanjutnya kami berputar-putar di kota tersebut, mencari rute perjalanan. Jalur Pantura pilihan kami. Ayas menawarkan diri menjadi navigator, membantu Sam Joe yang kebagian piket menjadi sopir, membaca penunjuk jalan arah kota tujuan kami. Sedangkan Sam Deddy yang rupanya tidak tega membiarkan kami terjaga sendirian, ikut mengobrol. Secara tak sadar ayas pun terlelap…

Kami sampai di Kota Kembang, Bandung sekitar pukul 09.00. Jauh melenceng dari perkiraan kami sebelumnya. Rasa lelah dan kecewa yang begitu terasa membuat kami tak banyak bicara selama perjalanan pulang. Terpaksa kami pun membolos dari aktivitas masing-masing. Sebuah loyalitas yang harus dibayar mahal tentunya!

Berbagai pemberitaan mengenai pindahnya pemain dan pelatih pun turut membuat hati nawak-nawak menjadi gusar! Pemain dan pelatih bisa saja kontraknya berakahir, namun kami sebagai Aremania merasa telah dikontrak seumur hidup untuk menjadi pendukung Singo Edan, klub kebanggaan kami Arema Indonesia!!! Walau tak menjadi jawara sekalipun!

Tetap bangga menjadi Aremania dan selalu mendukung Arema Indonesia…

Salam Satu Jiwa
(marlitha_giofenni@yahoo.co.id)